[Waktu Baca: 3 Menit]
Apa yang sudah kamu hasilkan dengan jam kerja yang dihabiskan beberapa waktu kebelakang? Sekilas pertanyaan tersebut tampak mudah dijawab dengan jawaban yang menarik dan penuh semangat menjabarkan tentang semua hal yang sudah didapatkan oleh seseorang. Tetapi, ada juga orang hanya bisa tersenyum pertanyaan tersebut.
Mari kita bahas lebih lanjut alasannya!
Setiap orang harus bisa membagi waktu 24 jam yang dimiliki untuk kerja, istirahat, olahraga, melakukan hobi, atau bahkan untuk makan dan tidur. Akan tetapi, belakangan ini sedang marak atau orang lebih senang untuk melakukan banyak pekerjaan dalam satu waktu (multitasking) demi mencapai jam kerja yang lebih banyak agar waktunya lebih produktif. Salah satu contohnya adalah makan sambil dengan membaca jurnal atau membalas e-mail.
Sering kali jam kerja yang tinggi diakibatkan oleh tugas dari perusahaan atau organisasi yang mengharuskan kita mengambil waktu yang lebih banyak dibandingkan jam kerja yang seharusnya, untuk bisa menyelesaikan tugas atau pekerjaan tersebut.
Menurut opini Gita Savitri Devi dalam salah satu video di kanal Youtube-nya, Ia mengatakan bahwa karyawan yang terlalu banyak kerja atau lembur adalah salah satu bentuk eksploitasi suatu organisasi atau perusahaan. Anggotanya seakan dituntun untuk memberikan waktu dan tenaga sebanyak-banyaknya untuk kemajuan dari organisasi atau perusahaan tersebut.
Uniknya, tidak sedikit anggota atau karyawan yang merasa tingkat jam kerja yang tinggi tersebut merupakan hal yang normal untuk mencapai kesuksesan. Bahkan, banyak sekali orang yang seakan berlomba-lomba untuk saling produktif dan membanggakan diri apabila jika jam tidurnya hanya sedikit per-minggunya. Karyawan dengan pencapaian finansial yang lebih tinggi, dan Mahasiswa atau Pekerja lepas dengan harapan pemenuhan portofolio yang baik. Secara tidak langsung orang-orang tersebut sudah masuk ke dalam Toxic Productivity atau Hustle Culture. Hustle Culture merupakan budaya kerja non-stop dengan sedikit istirahat atau tanpa istirahat, beberapa orang menyebutnya dengan sebutan “gila kerja”.
Tidak sedikit pula motivator atau pengusaha sukses yang menekankan pada kata kerja keras sebagai alibi dari normalisasi Hustle Culture. Seakan kita sebagai manusia untuk menjadi sukses, tidur atau sekadar ngobrol sama teman adalah suatu kesalahan karena tidak produktif.
Sampai sini, apakah kamu merupakan orang yang menerapkan Hustle Culture?
Menurut salah satu studinya Stanford University, durasi kerja yang gila-gilaan justru membuat pekerja menjadi kurang produktif. Jam kerja yang banyak akan mengurangi kreatifitas dari anggotanya, juga semakin lama akan menurunkan semangat dan ketertarikan anggota terhadap pekerjaannya. Alhasil, aktivitas kerja hanya akan menjadi rutinitas yang berjalan biasa-biasa aja, dan sulit apabila ingin melakukan pengembangan atau peningkatan pada organisasi.
Dalam studi sebuah jurnal Occupational Medicine, di dalamnya mengatakan bahwa orang dengan tingkat jam kerja yang tinggi, cenderung mengalami gangguan kecemasan, depresi, serta gangguan tidur. Contoh yang sering terjadi adalah seseorang kesulitan tidur karena di dalam pikirannya tidak lepas dari topik mengenai pekerjaan, sehingga seseorang akan memerlukan waktu lebih lama untuk membuat dirinya tidur lelap.
Di Jepang, akibat adanya Hutsle Culture yang dialami oleh mayoritas pekerjanya, beberapa diantara pekerja tersebut mengalami penyakit jantung, stroke, gangguan mental yang meningkat 3 kali lipat akibat kelelahan bekerja, bahkan adapun yang sampai meninggal karena terlalu banyak bekerja.
Bagaimana dengan Indonesia?
Menurut postingan dari laman Instagram @kalakrisis, ada satu postingannya yang mengatakan bahwa 1 dari 3 pekerja di Indonesia mengalami gangguan kesehatan akibat jam kerja berlebih. Jumlah orang yang menerapkan budaya ini juga meningkat akibat Pandemi COVID-19 yang di mana banyak orang terpacu untuk melakukan Hustle Culture akibat maraknya seruan atau jargon untuk tetap produktif dari rumah. Seruan ini tidak salah, hanya saja orang harus bijak dalam menerapkannya
Cara untuk menangani Hustle Culture dapat dimulai oleh kebijakan organisasi atau perusahaan terlebih dahulu, seperti: menerapkan jam kerja sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, memberikan dan memudahkan karyawan apabila ingin mengambil jatah cuti, menghargai hari libur setiap anggotanya, dan juga memberikan tugas sesuai dengan divisi pekerjaan dan waktu kerjanya.
Selanjutnya, adalah bagaimana diri kita sendiri bersikap untuk bijak dalam membagi waktu, bangunlah prinsip bahwa kita bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja. Jadi kalahkan istirahat sebagai salah satu cara untuk menemukan inovasi dan kreatifitas yang akan menjadikan pekerjaan lebih produktif. Kesuksesan tidak diukur dari seberapa banyak waktu yang digunakan untuk bekerja, tetapi bagaimana hasil dari pekerjaan dan kebahagiaan selama melakukannya. Apa ada hal lain yang menurut kamu bisa mengurangi budaya ini?
Sumber:
https://www.youtube.com/watch?v=Hn916u9UbIE